Selasa, 05 Januari 2010

resume

PERKEMBANGAN TEORI POSTKOLONIALISME

Konsep dasar posrkolonialisme sama dengan postrukturalisme, seperti penolakan terhadap narasai besar, oposisi biner dan proses sejarah yang terjadi secara monolitik. Membongkar struktur ideology melalaui mekanisme arkeologi dan genealogi (Foucault, 2002: 104-106; 2002a: 270-275).
Cara pertama dilakukan melalui penggalian (excavation) terhadap masa lalu, cara kedua yakni menemukan kontinuitas historis objek. Foucault, objek ( arsip, seperangkat wacana yang diungkapkan secara actual, baik secara tertulis, disusun, diucapkan, dan diungkapkan kembali maupun ditransformasikan).
Dean, 1994: 34 arkeologi dan geneologi bersifat saling melengkapi, tetapi pada dasarnya geneologilah yang mendominan sebab hanya dalam melacak jaringan wacana ditemukan sekaligus disingkirkan subjek yang memiliki otoritas. Wacana bukan subjek berpikir, justru mencoba menemukan posisi subjek di dalamnya, sehingga subjek bukan sumber pengetahuan. Analisi Foucault disebut antihumaniseme sebab menolak dimensi antropologisme.
Foucaultian, dianggap sebagai oposisi subjek (cogito ergo sum). Hypogram teori interteks, genealogi Foucaultian (Ritzer, 2003: 67-81; Sarup, 2003: 100-101). Hypogram dan geneologi bukan struktur formal dengan nilai universal.
• Arkeologi ( menggali situs local, menemukan irisan diskurtif).
- Lapisan-lapisan peradaban yang berlangsung relative lama dan dapat berubah secara tiba-tiba.
• Geneologi (menemukan wacana)
- Serangkaian cabang yang dicabang-cabangkan secara tak terbatas.
Secara metode, arkeologi memusatka perhatian pada kondisi historis sedangkan secara strategi, genealogi memusatkan perhatiannya pada proses historis kekuasaan dan wacana.



• Cirri khas postkolonialisme:
- Dekontruksi terhadap subjek tunggal, narasi besar.
- Dalam analisis terjadi tumpang tindih dengan postruktualisme.
- Beebagai pembicaraan yang berkaitan dengan kolonialisme
• Narasi terbesar postkolonialisme adalah orientalisme
• Teori postkolonialsme:
- Dibangun atas dasar peristiwa sejarah
- Pengalaman pahit bangsa Indonesia selama 3 ½ abad

Postkolianisme memiliki arti penting dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Definitif, menaruh perhatian untuk menganalisis era colonial.
2. Memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi.
3. Sebagai teori baru, memperjuangkan narasi kecil.
4. Membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk psike.
5. Bukan hanya sekedar teori melainkan kesadaran itu sendiri. Memerangi imperialism, orientalisme, rasialismedan berbagai bentuk hegemoni baik material maupun spiritual (berasaal dari bangsa Asing/Sendiri).
Masalah berikut di atas merupakan fakta-fakta, ilmu pengetahuan dengan kualitas objekvitas, yang dengan sendirinya didasarkan atas sejarah perjuangan bangsa.
Teori postkolonialisme semakin banyak dibicarakan, sekaligus memperoleh tempat dikalangan ilmuawan satu dasawarsa sesudah terbitnya buku Frantz Fanon (1960-an), dengan adanya temuan Edward Said mengenai pemahaman baru terhadap orientalisme. Kelahiran teori postkolonialisme pada dasarnya diawali dengan pemahaman ulang tentang orientalsme. Orientalisme adalah pemahaman, ilmu pengetahuan, teori-teori Barat yang sarat dengan ideology mengenai inferioritas bangsa Timur.
Postkolonialisme, dari kata “post” + colonial + “isme”, secara harfiah berarti pemahaman mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Menurut Shelley Walia (2003: 6; Said, 2003: 58-59) pertama kali dikemukan oleh Frantz Fanon dalam bukunya yang berjudul Black Skin, White Masks dan The Wretched of the Earth(New York, 1967). Fanon menyimpulkan bahwa melalui dikotomi colonial, yaitu kelompok penjajah dan terjajah, wacana orientalisme telah melahirkan alienasi dan marginalisme psikologis sangant dasyat.
Postkolonialisme, melibatkan teori seperti:
- Dekontruksi
- Hegemoni
- Feminis
- Interteks
- Resepsi, semua system tanda.
Perbedaan antara pengertian teks, wacana (diskursus), dan naskah (karya). Dua perbedaan yang berdeda secara diameter.
Pendapat pertama, wacana adalah teks dalam penggunannya, disebut sebagai bersifat dinamis, sedangkan teks yang bersifat statis memiliki identitas yang sama dengan naskah atau karya. Pendapat kedua, menganggap bahwa teks identik sama dengan wacana. Dengan kalimat lain, baik teks maupun wacana keduanya adalah bahasa dalam penggunaannya. Wacana dan teks hanyalah perbedaan istilah, diduga diakibatkan oleh tradisi atau selera seseorang (Noth, 1990: 332), sarjana Jerman lebih suka teks, sarjana Amerika lebih suka istilah wacana. Dalam bidang linguistic, istilah wacanalah yang dominan, sedangkan dalam sastra yang dominan adalah teks.
Teks dan wacana pada dasarnya merupakan istilah yang identik meskipun memiliki asal usul dan wilayah penyebaran berbeda. Pengertian teks dan wacana diturunkan melalui bidang bahasa dan satra, konsep wacana telah digunakan secara luas. Untuk memahami seluruh aspek kehidupan manusia.
Istilah kunci dalam postkolonialisme, postrukturalisme, dan dengan demikian dalam ilmu pengetahui humaniora adalah teks, lebih dikenal dengan wacana. Secara Leksikal wacana didefinisikan sebagai satuan bahasa terlengkap, mulai dari tataran kata, tetapi memuat makna yang utuh, meningkat pada kalmia, paragraph hingga buku dan novel.
Perkembangan teori wacana yang sangat pesat pada tahun 1970-an membawa implikasi pada perubahan definisi. Foucault (1972:53) mendifinisikan wacana sebaai suatu system pernyataan didalamnya dunia dapat diketahui, atau secara lebih spesifik perangkat ide untuk mengetahui suatu objek tertentu.
Strinati, 2003: 286, wacana didefinisikan sebagai cara-cara tertentu dalam mengorganisir pengetahuan dalam rangka melaksanakan system kekuasan.
Barker, 2004: 403, mendefinisikan wacana sebagai praktik bahasa untuk mengkontruksi dan mereproduksi objek pengetahuan.
Ricoueur, wacana sebagai peristiwa seperti suatu kejadian pada saat seseorang sedang berbicara, dengan menampilkan tiga cirri. Adapaun ke tiga cirri tersebut:
1. Wacana sebagai realisasi temporal, waktu sekarang
2. Wacana dalam kaitannya dengan siapa yang berbicara, sebagai instansi refleksi diri
3. Wacana melibatkan subjek (interlokuter), sebagai penerima pesan
Barthes, 1997: 157. Teks dan wacana, sebagai aktivitas produksi, tidak lahir secara hierarki melainkan sebagai kekuatan subversi.
Radloff, 1993: 639-640. Wacana mewakili dua pengertian, dalam pengertian sempit berarti suatu kesatuan linguistic. Pengertian luas, berarti seluruh aspek kehidupan manusia.
Sebagai teori, postkolonialisme adalah akumulasi konsep, cara-cara pemahaman, bahkan sebagai praktek menjelaskan objek. Sebagai variable tetap, objek bersifat netral, objek adalah objek dalam kondisi objektif. Cara pandanglah yang berubah-ubah, sebagai variable bebas, sehingga objek yang sama dapa dipahami secara berbeda.
Teori postkolonialisme, cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala cultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya. Ashcroft, Walia (2003: xxii) mendefinisikan objek postkolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman colonial.
Visi postkolonialisme tidak ada kaitan langsung dengan maslah-masalah social politik secara praktis. Sebagai superstruktur; dengan meminjam dikotomi Marx, visi postkolonialisme adalah ideology, bahkan pandangan dunia, disitu keseluruhan cita-cita diinvestasikan. Kolonialisme jelas melibatkan dua Negara atau lebih. Indonesia kolonialisme melibatkan Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris dan Jepang.
Masalah berkaitan dengan penjajah, dalam pengertian penjajah secara fisik seolah-olah dapat ditinggalkan sebab secara formal mereka sudah tidak ada, bahkan demikian penjajahan berakhir secara formal juga membentuk hubungan baru, seperti hubungan diplomatis. Dengan mengacu pada usia manusia rata-rata 70 tahun, maka kita dijajah baik fisik maupun psike selama lima generasi.
Ketidakterkaitan postkolonialisme dengan masalah praktis bukan berarti bahwa analisi tidak memiliki relevansi terhadap kehidupan sehari-hari. Paradigm postkolonialisme justru sangan bermanfaat untuk memahami kembali kondisi-kondisi sosiokultural bangsa yang terjadi sekarang ini. Masalah praktis yang dimaksud misalnya, tidak perlu melakukan konfrontasi langsung terhadap bekas penjajah, seperti demontrasi atau mengadakan perundingan secara formal dalam rangka meminta pertanggung jawaban atas kerugian yang telah terjadi selama penjajahan.
Postkolonialisme dengan intensitas pada umumnya menolak hegemoni narasai-narasi besar, analisis postkolonialisme atas kesadaran intelektual untuk menemukan jalan keluar dalam rangka mengatasi krisis yang sudah terjadi. Sebagai analisis ideology postkolonialisme mencurahkan perhatiannya pada masalah superstruktur dan cenderung memanfaatkan berbagai dokumen dalam bentuk karya tulis, khususnya sastra.
Demikina juga kualitas suatu penelitian tidak tergantung dari kemampuannya untuk mendeskripsikan hegemoni imperialism melainkan seberapa jauh ideology tersebut berhasil diungkapkan. Dalam analisis disamping konsep-konsep umum dalam kaitannya dengan postkolonialisme, peneliti juga harus mempertimbangkan kekhasan dalam kaitannya dengan bangsa dan wilayah masig-masing yang menjado objek kajiannya.
Ashcroft, dkk. 2003: xxii-xxiii. Posrkolonialisme sebagai teori yang lahir sesudah kebanyakan Negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya.
Dalam perkembangan berikut, sebagai akibat luasnya wilayah kajian wacana di satu pihak, perkembangan teori di lain pihak, sebagai traveling theory, postkolonialisme pada gilirannya meliputi hamper seluruh aspekkehidupan, khususnya aspek-aspek yang ada kaitannya dengan kolonialisme.
Poskolonialisme di Indonesia melibatkan tiga pengertian:
1. Abad berakhirnya imperium colonial di seluruh dunia
2. Segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman colonial sejak abad ke -17 hingga sekarang
3. Segala tulian yang ada kaitannya dengan paradigm superioritas Barat terhadap inferioritas Timur, bak sebagai orientalisme maupun imperialism dan kolonialisme.
FUNGSI DAN MANFAAT TEORI POSRKOLONIALISME
Tidak ada hak paten terhadap suatu penelitian. Oleh karena itulah, objek postkolonialisme tidak terbatas pada kolonialisme itu sendiri, kolonialisme sebagai pemahaman tradisional melainkan kolonialisme sebagaimana diintensitaskan memalui paradigm orientalisme.
Hubungan antara postkolonialisme dengan kolonialisme jelas mengarahkan sejarah, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa analisis postkolonialisme tidak berbeda dengan sejarah social, sejarah pergerakan dan berbagai isu berkaitan dengan nasionalisme.
Oleh Karen itulah, analisis postcolonial lebih banyak berkaitan dengan teks, khususnya teks sastra. Analisis dalam kaitannya dengan sejarah pergerakan dan isu nasional lainnya tetap merupakan analisis sejarah.
Dalam kaitannya dengan objek teori postcolonial, paling sedikit terdapat lima alasan mengapa karya sastra dianggap tepat dianalisis melalui teori-teori postcolonial:
1. Sebagai gejala cultural, menampilkan system komunikasi yang sangat kompleks, triadic pengarang, karya sastra dan pembaca. Mediator antara masa lampau dengan masa sekarang.
2. Menampillkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
3. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu
4. Karya sastra adalah bahasa, bahasa itu sendiri adalah cara mentrasmisikan ideology colonial
5. Dilukiskan secara simbolis, terselubung, tujuan yang sungguh tidak tampak.

RUANG LINGKUP PENELITIAN POSTKOLONIALISME
Sebagai hakikat kreatif imajinatif, dengan medium penyajian melalui system symbol bahasa, karya sastra penuh dengan bahasa kias, metafora, ironi dan kontradiksi. Atas dasar pemanfaatan bahasa, dapat dipastikan bahwa di antara bahasa-bahasa Eropa bahasa yang sangat dominan adalah bahasa Inggris tersebut sebagai bahasa dunia.
Dengan mengintroduksi filsafat bahasa Nietzchean, bahasa sebagai metafora, antroforfisme yang mobil, bahasa yang telah dimaknai secara puitik dan retorik pada dasarnya Timur hanyalah satu kata.
Cirri khas postkolonialismedibandingkan dengan teori postmodernisme lain adalah kenyataan bahwa objeknya dalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah bekas jajaha imperium Eropa, khususnya Indonesia. Oleh karena itulah, objek postcolonial pada umumnya adalah wacana postcolonial, yaitu berbagai bentuk penceritaan dalam kaitannya dengan penibggalan colonial.
Relevansi teori postkolonialisme dalam studi cultural adalah kesadaran baik secara disengaja maupun kebetulan, wacana Barat, khususnya wacana kaum orientasi mengandung ideology. Maka teori postkolonialisme dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang memncoba mengungkapkan akibat-akibat negative yang ditimbulkan oleh kolonialsime.

POSTKOLONIALISME DAN REPRESENTASI
Reprentasi merupakan salah satu masalah sangat penting dalam teori-teori postrukturalisme. Secara umum diartikan sebagai perwakilan. Dalam karya sastra, represtasi dimediasi oleh bahasa melalui narasi, plot, citra, gagasan, dan berbagai peralatan literer lain yang secara keseluruhan disimpulkan dalam ide pokok, seperti : pesan, tema, pandangan dunia.
Dalam hubungan inilah dinamakan bahwa produksi makna merupakan aktivitas dinamis, Cavallaro (2004: 71) represtasi berkaitan dengan proses pengulangan. Dalam hubungan ini represtasi memiliki kesejajaran dengan interteks, simulacrum. Oleh karena itulah, karya sastra yang menonjol sesudah abad ke-18 adalah puisi lirik diawali oleh Coleridge, Wordsworth, Byron, Keats, dan Shelley.

RELEVANSI TEORI POSTKOLONIALISME TERHADAP ANALISIS SASTRA DUA BUDAYA INDONESIA.
Dalam hubungan ini teori postcolonial diharapkan dapat mejelaskan mengapa Negara lain yang sama-sama baru merdeka ternyata mengalami perkembangan lebih pesat. Secara umum karya sastra berkaitan dengan unsurunsur kejiwaan, seperti telah disinggung berbagai analisis sudah pernah dan sangat banyak dilakukan sehingga menimbulkan semacam involusi analisis melaui sudut pandang baru.
Salah satu cara untuk membedakannya, analisis sastra selalu memperhatikan dominasi sastra, kemudian melanggkah ke luar, bagaimana bentuk refleksi, refraksi dan represtasinya di masyarakat.

Tugas MK: Teori Sastra (Resume: Perkembangan Teori Postkolonialisme: 78-141)
oleh Budi Firmasnyah (020105037), Pendidikan Bahasa dan Seni Indonesia
FKIP-UHAMKA